Minggu, 22 September 2013

SEKARMADJI MARIDJAN KARTOSOEWIRJO

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo lahir 7 Januari 1907 (ada yang menuliskan 1905) di Cepu, kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Cepu menjadi tempat pertemuan budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah dalam suatu garis budaya yang unik.

Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah mantri sebuah kantor yang mengoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, Rembang. Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan sekretaris distrik. Sang ayah berkedudukan cukup penting sebagai pribumi saat itu, dan itu berpengaruh sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah sang anak. Kartosoewirjo kelak mengikuti pengaruh itu hingga usia remaja.


Dia dibesarkan dan berkembang saat sang orang tua ya berkedudukan istimewa serta “gerakan pencerahan Indonesia” makin mapan ketika itu. Dia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia.


Suasana politis itu pula yang mewarnai pola asuh sang orang tua, yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga liberal. Setiap anggota keluarga mengembangkan visi dan arah pemikiran ke berbagai orientasi. Dia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta tahun 50-an, yang hidup penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api tahun 20-an, ketika di Hindia Belanda terbentuk berbagai serikat buruh.


Pada 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, Kartosoewirjo berusia enam tahun. Dia masuk Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK) atau sekolah angka loro untuk kaum bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, dia melanjutkan sekolah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Rembang. Pada 1919, ketika pindah ke Bojonegoro, orang tuanya memasukkan Kartosoewirjo ke Europeesche Lagere School (ELS). Bagi seorang putra pribumi, HIS dan ELS merupakan sekolah elite. Hanya dengan kecerdasan dan bakat khusus, Kartosoewirjo bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa itu.
Semasa remaja di Bojonegoro itulah Kartosoewirjo memperoleh pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo. Dia tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tak berlebihan jika ketika itu Notodihardjo menanamkan banyak aspek kemodernan Islam dalam alam pikiran Kartosoewirjo. Pemikiran-pemikirannya sangat memengaruhi Kartosoewirjo bersikap dalam merespons ajaran agama Islam. Itulah masa yang bisa disebut the formative age-nya.
Pada 1923, setelah menamatkan ELS, Kartosoewirjo ke Surabaya untuk melanjutkan studi pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah itulah (l926) dia terlibat banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.


Selama kuliah Kartosoewirjo berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Dia “mengaji” secara serius. Saking serius, dia kemudian begitu “terasuki” shibghatullah sehingga menjadi Islam minded. Semua aktivitas kemudian dia gunakan hanya untuk mempelajari Islam dan berbuat untuk Islam. Dia pun sering meninggalkan kuliah dan tidak begitu peduli terhadap ilmu-ilmu yang diajarkan sekolah Belanda, tentu setelah dia mengaji dan membaca banyak buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu sosial dan politik.


Berbekal modal ilmu pengetahuan tidak sedikit itu, dia memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran Tjokroaminoto banyak memengaruhi sikap, tindakan, dan orientasi Kartosoewirjo.


Setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik. Apalagi dia memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis dari sang paman, Marco Kartodikromo, wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Pihak sekolah tak berani menuduh dia “terasuki” ilmu-ilmu Islam, tetapi menuduh dia “komunis” karena ideologi itu sering dipandang sebagai ideologi yang bakal membahayakan. Padahal, ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang lalim.


Tidak mengherankan jika Kartosuwirjo kelak tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus integritas keislaman yang tinggi. Dia diangap ulama besar. Bahkan para pembaca tulisannya, akan mengakui dia sebagai ulama terbesar di Asia Tenggara.


Sejak 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, antara lain Jong Java. Pada 1925, ketika anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislaman mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB), Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi itu lantaran keberpihakan ke agamanya. Melalui dua organisasi itulah kemudian dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal: Soempah Pemoeda.


Selain menjadi Sekretaris Umum Partij Sjarikat Islam Hindia Timur (PSIHT), Kartosoewirjo bekerja sebagai wartawan Harian Fadjar Asia. Semula dia menjadi korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada 1929, saat berusia relatif masih muda, sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo menjadi redaktur Harian Fadjar Asia. Dalam kapasitas sebagai redaktur, dia menerbitkan berbagai artikel berisi kritik, baik terhadap penguasa pribumi maupun penjajah Hindia Belanda.


Dalam perjalanan tugas ke Malangbong, dia bertemu pemimpin lokal PSIHT, Ajengan Ardiwisastera. Di sana pula dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum, putri Ajengan Ardiwisastera, yang dia nikahi April 1929. Mereka dikarunia 12 anak, tiga terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat.


Begitu banyak pengalaman menghantarkan dia sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional. Tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang pernah terhenti. Dia masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia (MIAI) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris majelis baitul-mal organisasi itu.
Pada masa pendudukan Jepang, dia memfungsikan kembali lembaga suffah yang dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militer. Para siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang kelak menjadi inti Tentara Islam Indonesia (TII) di Jawa Barat.
Agustus 1945, menjelang kekuasaan Jepang di Indonesia berakhir, Kartosoewirjo disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari Sekutu, bahkan dia berencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan Agustus 1945. Namun dia menarik kembali proklamasi itu setelah pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar “sekuler”.


Namun sejak kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan, 17 Agustus 1945, kaum nasionalis sekuler yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Sejak saat itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis, dan hingga akhir 1970-an kalangan Islam berada di luar (sistem) negara.


Dari situlah bermula pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler secara efektif memegang kekuasaan negara, pertentangan selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.


Situasi kacau akibat agresi militer kedua Belanda. Apalagi terjadi penandatanganan Perjanjian Renville antara Pemerintah Republik dan Belanda – yang berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Pemerintah Republik harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, dan itu menjadi pil pahit bagi Republik. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukan Republik di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan dan semua pasukan harus ditarik mundur -- atau kabur dalam istilah orang-orang Darul Islam -- ke Jawa Tengah. Karena penandatangan perjanjian itu, tentara Republik resmi di Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuan tersebut.


Soekarno menyebut “kaburnya” TNI dengan istilah Islam: hijrah. Dengan memakai sebutan itu, dia menipu jutaan rakyat muslim. Pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak mematuhi ketentuan itu. Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu makna “hijrah” itu.
Kartosoewirjo menolak posisi menteri yang ditawarkan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. Pada waktu itu, Sugondo Djojopuspito yang kenal baik Kartosoewitjo dan Amir Sjarifuddin ketika peristiwa Soempah Pemoeda 1928 di Batavia, membujuk Kartosoewirjo. Namun Kartosoewirjo tetap menolak, jika dasar negara bukan Islam.
Pada 1949 Indonesia mengalami perubahan politik besar-besaran. Saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, terjadilah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal masyarakat sebagai DI/TII, 7 Agustus 1949. Beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII, terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.


DI/TII dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat yang fobi dengan negara Islam sebagai “Islam muncul dalam wajah tegang”. Bahkan peristiwa itu dimanipulasi sebagai “pemberontakan”. Kalaupun “pemberontakan”, itu bukan pemberontakan biasa. Ia perjuangan suci antikelaliman terbesar di dunia pada awal abad ke-20. “Pemberontakan” bersenjata yang menguras habis logistik Angkatan Perang Republik Indonesia itu bukan pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan bersifat regional, bukan “pemberontakan” yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan politik. Melainkan, karena “cita-cita”, sebuah “mimpi” yang diilhami ajaran Islam yang lurus.


Perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun berakhir ketika dia tertangkap setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak, Jawa Barat, 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia menghukum mati Kartosoewirjo pada 12 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta, saat dia berumur 57 tahun.


1 komentar:

  1. salam damai dari kami sedulur reggae semarang untukmu reggae blora. kunjungi juga blog kami man. salam damai
    http://sedulurreggaesemarang.blogspot.co.id/

    BalasHapus